Sabtu, 07 Mei 2011

Membongkar Gurita Kekerasan

Praktek kekerasan rupanya semakin memenuhi ruang dan waktu hidup kita. Kekerasan sepertinya sudah membudaya di negeri ini. Elizabeth Fuller Collins, peneliti Ohio University untuk kajian Asia Tenggara pernah menyebutkan itu. Kekerasan yang dahulu banyak dilakukan oknum militer dan aparatur negara, kini telah beranak pinak dan banyak dilakukan masyarakat biasa. Kata "kekerasan" sering masih dipahami sebagai bentuk kekerasan fisik yang kasar, kejam, dan menimbulkan dampak negatif yang menyakitkan. Pandangan ini kemudian menjadikan perilaku oprressive (menekan) terhadap orang lain sering tidak digolongkan kekerasan.

Kekerasan pada dasarnya meliputi semua bentuk perilaku, baik verbal (kata-kata) maupun nonverbal (fisik). Kekerasan biasanya dilakukan oleh seseorang maupun kelompok terhadap seseorang atau kelompok lain yang dapat menimbulkan efek negatif baik secara psikologis, fisik, maupun sosial-ekonomi. Terkadang perilaku kekerasan yang menekan dapat mengakibatkan ketakutan dan rasa terkekang sehingga membatasi ruang gerak korban dalam mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.

Pada umumnya pihak dari kelompok atau perorangan yang kuat sering melakukan tidak kekerasan terhadap pihak yang lemah. Salah satu temuan menarik yang dikemukakan Colombijn dan Lindbald kekerasan dipandang sebagai cara legitimitas "hanya jika ditujukan pada orang asing (outsiders).

Di sini, "orang asing" merupakan hasil konstruksi sosial berdasarkan situasi dan konteks tertentu. Mereka bisa merupakan orang-orang di luar kelompok (outgroup), tetapi bisa juga anggota di dalam kelompok (ingroup) yang dipersepsi sebagai "orang asing". Atau bahkan bisa juga hasil dari konstruksi yang sama sekali imajiner, suatu kategori yang dapat dikenakan pada siapa saja, seperti "zionis", "kapitalis", "komunis", dan seterusnya yang tidak pernah jelas dan berlaku semena-mena.

Kekerasan di Masyarakat

Hal serupa terjadi dalam lingkungan kita, seperti yang diberitakan di Lampung Post (4-1) Oktober terdapat 181 kasus anak yang berkonflik dengan hukum dan 172 kasus anak yang menjadi korban kekerasan pada 2009. Kemudian aksi perampasan dan perampokan pada 2009 meningkat (Lampung Post, [3-1] Oktober) yang berakibat pada aksi kekerasan. Keadaan ini semakin menambah daftar aksi kekerasan di masyarakat.

Kekerasan yang dilakukan terkadang bertumpu pada masalah ekonomi. Sistem kapitalis telah mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan hanya pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa.

Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Impitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya kekerasan. Banyak kasus kekerasan menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.

Lebih dari itu, kekerasan sering dipicu dua faktor. Pertama, faktor individu. Kurangnya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum, termasuk melakukan tindakan kekerasan.

Kedua, faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikkan perlindungan atas eksistensi manusia.

Struktur sosial di masyarakat telah memaksa untuk melakukan tindakan di luar batas kewajaran, dampak arus globalisasi telah berdampak pada pola hidup yang konsumtif dan hedonis. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang kurang memedulikan nasib rakyatnya. Sehingga kekerasan dalam kompetisi kehidupan semakin nyata dan dianggap hal yang "lumrah".

Penegak hukum semestinya mampu membaca situasi ini agar keadaan di masyarakat lebih kondusif. Terlebih dengan agenda-agenda yang syarat kepentingan publik yang sudah bias dengan kepentingan pribadi. Sehingga aktor-aktor intelektual di balik kejadian kekerasan ini bisa dilakukan tindakan yang lebih represif karena akan berdampak sistemik terhadap kehidupan masa depan.

Persoalan kekerasan merupakan fenomena gunung es yang terlihat puncaknya sedikit tetapi sebetulnya tidak menunjukkan fakta yang valid. Masalah kekerasan banyak terjadi di lingkungan keluarga, tapi pada umumnya korban tidak mempunyai ruang atau informasi yang jelas apakah persoalan mereka layak atau tidak jika masuk dalam pengadilan. Sebab, selama ini masyarakat mengganggap permasalah keluarga itu hanya konsumtif pribadi dan hal yang tabu untuk diungkap.

Memang, sudah semestinya kita bisa memahami kehidupan yang lebih humanis dan demokratis. Kita bisa melihat kondisi masyarakat sekarang. Kekerasan yang lebih dominan terhadap struktur kultur di masyarakat yang lemah, yaitu perempuan dan anak-anak. Konstruksi sosial-budaya patriarki lebih banyak menguntungkan pihak laki-laki sehingga memberikan peluang terjadinya aneka kesewenangan terhadap perempuan yang direstui oleh tradisi.

Dengan pandangan hidup yang lebih arif dan bijak, ke depan kekerasan yang terjadi baik dalam keluarga dan masyarakat dapat diminimalisasi. Komunikasi aktif masyarakat dan pemerintah yang sinergi mampu menciptakan kerukunan dan perdamaian yang dapat mengangkat martabat bangsa di mata dunia. Mengedepankan kepentingan bersama dengan masyarakat sebagai pemeran utama merupakan upaya-upaya untuk mencegah dari tindak kekerasan. Semoga hidup kita menjadi lebih baik. Tabik.

Dimuat di Lampung Post, 15 Januari 2010

Tidak ada komentar: