Sabtu, 07 Mei 2011

Emansipasi Politik Perempuan

“Laki-laki dan wanita adalah laksana anak sisir, berdiri sejajar secara setara” (HR. Ahmad, Abi Dawud dan Tarmidzi dari Aisyah).

Keterlibatan perempuan dalam politik formal di Indonesia mulai memperoleh ruang sejak dikeluarkannya undang-undang pemilu No.12/2003, yang menyebutkan pentingnya aksi afirmasi bagi partisipasi politik perempuan dengan menetapkan jumlah 30% dari seluruh calon partai politik pada parlemen di tingkat nasional maupun lokal. Yang akhirnya partai-partai politik setuju untuk meningkatkan kuota caleg perempuan sebanyak 30 % pada pemilu tahun 2009. Sebelum akhirnya porak-poranda oleh keputusan MK yang membatalkan pasal 214 UU Pemilu menasbihkan caleg yang berhak maju menjadi anggota dewan adalah mereka yang berhasil mengumpulkan suara terbanyak dan bukan lagi pada urutan caleg.

Sepanjang sejarah politik di Indonesia, jumlah perempuan di parlemen jauh dibawah laki-laki. Nilai-nilai budaya patriarki menempatkan laki-laki lebih tinggi derajatnya dari perempuan menjadi faktor utama karena perempuan hanya dianggap sebagai warga kelas dua (the second sex). Hal ini diperkuat oleh strategi pembangunan pada masa orde baru, dimana sektor publik banyak dikuasi oleh laki-laki, sedangkan pemberdayaan terhadap perempuan masih sering terabaikan.

Sebagai seorang aktivis di masa totaliterisme Soeharto, Fadjroel Rahman berpendapat bahwa perempuan dihancurkan bukan saja secara kelembagaan, tetapi juga dihancurkan dalam assosiasi publiknya. Proses domestikasi perempuan di ruang pubik menurut Fadjroel rahman begitu kental dijalankan oleh rezim Orde Baru. Diawali dengan stigmatisasi yang dilakukan oleh Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang kala itu mencoba untuk aktif berdiskusi dan melakukan advokasi seputar politik, sampai dengan kehadiran Darma Wanita sebagai panutan kaum perempuan di kalangan pegawai pemerintahan yang semestinya sebagai media untuk menaikkan bargaining position namun cenderung dimanfaatkan kepentingan politik penguasa.

Pentingnya memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat, bukan tanpa alasan yang mendasar. Melihat bahwa pemenuhan keterwakilan perempuan pada pemilu 2009 tergolong rendah, hanya mencapai 17,5 persen. Angka ini mengalami kenaikan 6 % jika dibandingkan dengan pencapaian pada pemilu 2004 sebesar 11,45 % di tingkat nasional.

Pemahaman masyarakat kita khususnya lapisan bawah terhadap politik, gender dan demokrasi sangatlah terbatas. Kalaupun ada, hanya pada lapisan tertentu yaitu pada kelompok terdidik sehingga ia faham dan peduli dengan keadilan dan kesetaraan gender. Berangkat dari kesadaran bahwa perempuan juga memiliki kemampuan untuk ikut membangun negara dan bangsa, Mahatma Gandhi pernah mengatakan, “upaya pertama yang mesti ditempuh oleh kaum perempuan adalah upaya semaksimal mungkin untuk membangkitkan kesadaran pemikiran kaum perempuan tentang kondisi yang menimpa mereka pada saat ini” (Gandhi 2002:4).

Memperjuangkan emansipatoris

Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, partai politik merupakan instrumen penting dan pemilu adalah cara yang terbaik dalam melaksanakan demokrasi perwakilan. Pada upaya mewujudkan masyarakat demokratis di mana setiap warga negara saling menghormati hak-hak, kebebasan, keadilan dan kesetaraan mereka, representasi warga negara secara langsung harus diperhitungkan, di samping tentunya pertimbangan aspirasi atau kepentingan kelompok tersebut dalam proses pembuatan keputusan. Sehingga hak-hak, kepentingan serta aspirasi perempuan dalam hal ini tidak hanya didiskusikan serta diperhatikan oleh para legislator, melainkan perempuan sendiri harus turut terlibat dalam tarik menarik diskusi tersebut. Perempuan sendiri lah yang harus aktif menyuarakan aspirasi mereka, kepentingan serta hak-hak mereka dalam lembaga pengambil keputusan tersebut.

Banyak hal yang telah diupayakan oleh perempuan untuk memperjuangkan hak politiknya melalui keterlibatan dalam proses politik demokratik di Indonesia. Meski kesejajaran–kesetaraan gender yang notabene sudah dicetuskan dari Revolusi perancis (1789) yang menandai era Renaissance (pencerahan) umat manusia dengan faham trinity berupa liberty-egality-fraternity. Namun, demokrasi indonesia memerlukan biaya yang cukup mahal. Dalam level kepala kampung saja, masyarakat sudah enggan berpartispasi. Contoh kasus yang terjadi di wilayah kabupaten Tulang Bawang Barat, dimana calon kepala kampung adalah pasangan suami istri, karena masyarakat kurang berminat sebab harus mengeluarkan biaya yang cukup besar dan yang diharapkan kedepan tidak jelas (Lamung Post, 6/01/2010). Hal yang tak mudah memang memperjuangkan sesuatu yang sejak lama tidak menjadi miliknya, meskipun sesuatu itu adalah haknya.

Hubungan kegiatan perempuan dengan struktur sosial dimasyarakat akan semakin nyata ketika tingkat partispasi perempuan dalam kegiatan- kegiatan pemberdayaan terhadap perempuan meningkat. Namun pada kenyataannya, krisis kemampuan perempuan dalam mengorganisir konstituen menjadi kendala utama. Hal ini sebenarnya bisa diimplementasikan dalam ormas keagamaan yang ada di Indonesia, misalkan Nahdlatul Ulama’ (NU) dengan Muslimat NU dan Fatayat-nya dan Muhammadiyah dengan Nasyiatul Aisyahnya. Untuk itu perlu strategi lain dalam perjuangan emansipatoris perempuan, yakni sebuah gerakan figuratif perempuan untuk mendongkrak citra individu perempuan, seperti tampilnya tokoh-tokoh fenomenal di dunia seperti Indira gandhi (India), Benasir Butho (Pakistan), Marzieh Vahid Dastjerdi (Iran) yakni menteri perempuan pertama dalam 30 tahun sejarah Republik Islam Iran. Namun gerakan figuratif ini belum tentu mampu menyetarakan dalam kehidupan berbangsa, perlu adanya konsep ideal yang perlu dilakukan perjuangan di landasan konstitusional lalu dijabarkan ke perangkat institusional sehingga dapat menyuarakan emansipasi lebih maksimal dan membudaya.

Saat ini sudah saatnya kaum perempuan menumbuhkan kesadaran baru, yang melihat kancah politik praktis sebagai forum paling efektif meperjuangkan emansipasi wanita. Dengan gambaran fakta yang terjadi, bahwa sudah terjadi inferioritas dikalangan perempuan bahwa kaum perempuan hanya menjadi objek demokrasi tak ada bedanya dengan masa orde baru. Wujud bias gender pun terlihat dalam perilaku parlemen legislatif di DPR/ MPR bahkan dalam susunan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Apalagi ditahun 2010 ini serentak akan dilaksanakan pemilihan Bupati/ Walikota oleh beberapa kabupaten/ kota di Lampung, namun calon dari kalangan perempuan sangat minim sekali bahkan belum ada.

Untuk itu, keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam dunia politik merupakan suatu keharusan, sebab akses, kontrol dan partisipasi politik perempuan dalam berbagai tingkatan pembuatan dan pengambilan keputusan merupakan hak asasi manusia dalam memperjuangkan kepentingan kaum perempuan. Tidak dapat dipungkiri perempuan secara demografis merupakan mayoritas, namun secara politis mereka menempati posisi minoritas. Sehingga perlu dilakukan terobosan baru dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan. Mengutip pendapat KH. Husein Muhammad seorang ahli Fiqih perempuan bahwa kegagalan memimpin bangsa tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, tetapi lebih karena sistem yang dikembangkan dan kemampuan personal yang bersangkutan. Wallahu a’lam..Tabik

Dimuat Radar Lampung, 4 Februari 2010

Tidak ada komentar: