Catatan Harian Mencerahkan
Memperlihatkan Sosok Islam yang Seutuhnya
Minggu, 25 September 2011
Sabtu, 07 Mei 2011
14 Februari: Antara Cinta dan Hedonisme
Secara rasional maupun religi (agama), manusia yang merasakan cinta dan kasih sayang adalah sesuatu yang lumrah dan sudah seharusnya merasakan hal itu. Cinta dan kasih sayang memiliki makna yang sangat luas, karena tidak memiliki batas ruang dan waktu.
Valentine’s day atau yang sering disebut hari kasih sayang merupakan hari istimewa bagi kaum muda sejagat. Hari yang jatuh setiap tanggal 14 Februari tiap tahunnya ini dirayakan oleh setiap insan manusia tanpa memandang agama, suku, ras dan golongan. Menurut berbagai sumber on the net, ternyata hari valentine (hari kasih sayang) memiliki sejarah yang rancu. Salah satu sumber menyebutkan bahwa perayaan hari valentine termasuk salah satu hari raya bangsa Romawi paganis (penyembah berhala), di mana penyembahan berhala adalah agama mereka semenjak lebih dari 17 abad silam. Perayaan valentin tersebut merupakan ungkapan dalam agama paganis Romawi kecintaan terhadap sesembahan mereka.
Perayaan Valentine's day memiliki akar sejarah berupa beberapa kisah yang turun-temurun pada bangsa Romawi dan kaum Nasrani pewaris mereka. Kisah yang paling masyhur tentang asal-muasalnya adalah bahwa bangsa Romawi dahulu meyakini bahwa Romulus (pendiri kota Roma) disusui oleh seekor serigala betina, sehingga serigala itu memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran. Bangsa Romawi memperingati peristiwa ini pada pertengahan bulan Februari setiap tahun dengan peringatan yang megah.
Kemudian, hal yang mungkin saja ketika sejarah tersebut di abadikan hingga saat ini. Negara berkembang seperti indonesia merupakan salah satu negara yang paling mudah menerima dan terpengaruh budaya-budaya asing, sehingga budaya Indonesia yang adilihung semakin tidak beridentitas lagi. Meskipun perayaan valentine erat kaitannya dengan tradisi keagamaan, namun nampaknya justru sekat-sekat agama luntur dalam universalitas kasih sayang. Hari kasih sayang yang erat kaitannya dengan cinta kasih, saling memberi, dan saling mencintai. Nilai-nilai inilah yang menjadikan valentine sebagai hari bersama seluruh umat manusia dalam mengapresiasikan cinta.
Masyarakat yang cenderung labil, menjadikan valentine sebagai hal sakral dan sayang untuk dilewatkan oleh setiap kalangan, terutama kaum muda meski ada yang mengganggap biasa-biasa saja. Namun, Valentine’s day saat ini sudah menjadi tradisi yang harus di ritualkan. Hal ini dapat diwujudkan dengan merayakan valentine’s day yang disimbolkan sebagai hari saling memberi atau mengasihi. Sehingga, ketika hari valentine tiba para anak muda akan memborong hadiah (kado) dalam berbagai macam bentuk yang akan diberikan kepada kekasihnya. Berbagai hal yang terkait dengan simbol cinta dan kasih sayang dapat dikomoditaskan dalam berbagai bentuk produk yang akan laris manis diserbu pembeli. Hal ini kemudian dimaknai sebagai pesta cinta yang dapat meningkat gaya hidup yang konsumtif nan hedonis.
Pemaknaan ulang
Nampaknya kaum kapitalis membuat hal ini menjadi peluang bisnis yang menjajikan. F.Budi Hardiman (2008) mengatakan, Valentine’s Day telah memasuki kultur binalitas, yakni hal-hal yang bersifat dangkal, hedonisme, dan konsumerisme yang kuat. Orientasi berlebihan atas akumulasi kapital, investasi, dan pertumbuhan ekonomi harus diakui merupakan pemicu yang menjadikan manusia menempuh jalan “pintas” yang dianggap pantas dengan menghalalkan segala cara atau yang sering kita sebut dengan istilah 3 H (Halal, Haram, Hantam).
Dengan masuknnya arus globlalisasi menambah efek yang luar biasa pada sendi-sendi kehidupan, Hernando de Soto seorang pemikir ekonomi dunia asal Peru pernah menegaskan bahwa sejak proses globalisasi mulai berlangsung kondisi kehidupan di hampir semua negara terkesan meningkat. Apalagi jika diukur dengan indikator-indikator lebih luas. Namun, sering kali pula peningkatan itu hanya ada dalam hitung-hitungan di atas kertas. Negara-negara maju dan kuat memang bisa meraih keuntungan. Tapi, tidak negara-negara berkembang dan miskin.
Mencoba melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini, dapat dikatakan bahwa kesulitan dan krisis telah melanda diberbagai lini kehidupan dari kemiskinan, kelaparan dan harga-harga bahan pokok yang terus melambung tinggi. Seharusnya perwujudan kasih sayang dalam pemaknaan valentine’s day dapat di jadikan sebagai Hari Solidaritas Kemanusiaan Se-Dunia. Bukan malah digunakan sebagai moment foya-foya, sikap yang berlebihan dan justru para penggiat bisnis menjadikan moment ini menjadi peluang pasar yang signifikan. Misalnnya, mall-mall yang memberikan diskon menarik dan lebih besar, cafe-cafe yang menyelenggarakan pesta dan masih banyak lagi.
Valentine bukanlah pesta kaum yang dimabuk asmara dengan berbagai ekspresi suka cita dan pemburuan kesenangan belaka. Namun Valentine merupakan hari kasih sayang yang mengarah pada universalitas cinta kemanusiaan. Cinta yang lebih luas maknanya daripada sekedar ”cinta birahi” yang cenderung pada pemuasan masing-masing individu.
Jika hal ini mampu terealisasi dalam setiap perayaan Valentine tentu yang demikian jauh lebih bermakna. Namun pemaknaan ulang ini hendaknya tidak berhenti pada sebatas refleksi namun juga tercermin dari gerakan-gerakan nyata. Solidaritas, rasa saling menghormati, menyayangi, dan toleransi antara umat ataupun kelompok sosial merupakan ekspresi yang harus terwujud. Dengan demikian Valentine bukan lagi sekedar ikon kultur binal sebagaimana diungkapkan F.Budi Hardiman.
Salah kaprah penafsiran valentine ini sudah menumbuhkan budaya hedonisme dikalangan masyarakat kita. Perilaku konsumtif juga telah merambah pada struktur masyarakat terkecil yakni keluarga. Padahal, Secara teologis sifat hedonisme merupakan hal-hal duniawi yang perlu dihindarkan dan juga kurang sesuai dengan budaya Indonesia, meski bangsa menghargai kekebasan dan menjujung tinggi nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Kemudian, makna kasih sayang yang terartikulasi sering kali lepas dari substansi cinta kasih yang sesungguhnya. Valentine sering kali dimakani secara sempit sebagai luapan cinta yang menjurus pada nafsu kemanusiaan yang terendah dan mengumbar kesenangan tanpa batas. Tidak mengherankan jika kemudian perayaan valentine menjadi kontroversi dan menuai pertentangan dari beberapa kalangan, terutama agamawan. Valentine tidak lebih dari ungkapan cinta kasih dalam arti ”telanjang” yang tidak memiliki makna apa-apa. Pemaknaan ulang hari kasih sayang ini mestinya dijadikan evaluasi sejauh mana rasa solidaritas dan kepedulian kita antar sesama umat di dunia ini. Semoga...
Dimuat Radar Lampung, 13 Februari 2010
Emansipasi Politik Perempuan
“Laki-laki dan wanita adalah laksana anak sisir, berdiri sejajar secara setara” (HR. Ahmad, Abi Dawud dan Tarmidzi dari Aisyah).
Dimuat Radar Lampung, 4 Februari 2010
Membongkar Gurita Kekerasan
Praktek kekerasan rupanya semakin memenuhi ruang dan waktu hidup kita. Kekerasan sepertinya sudah membudaya di negeri ini. Elizabeth Fuller Collins, peneliti Ohio University untuk kajian Asia Tenggara pernah menyebutkan itu. Kekerasan yang dahulu banyak dilakukan oknum militer dan aparatur negara, kini telah beranak pinak dan banyak dilakukan masyarakat biasa. Kata "kekerasan" sering masih dipahami sebagai bentuk kekerasan fisik yang kasar, kejam, dan menimbulkan dampak negatif yang menyakitkan. Pandangan ini kemudian menjadikan perilaku oprressive (menekan) terhadap orang lain sering tidak digolongkan kekerasan.
Kekerasan pada dasarnya meliputi semua bentuk perilaku, baik verbal (kata-kata) maupun nonverbal (fisik). Kekerasan biasanya dilakukan oleh seseorang maupun kelompok terhadap seseorang atau kelompok lain yang dapat menimbulkan efek negatif baik secara psikologis, fisik, maupun sosial-ekonomi. Terkadang perilaku kekerasan yang menekan dapat mengakibatkan ketakutan dan rasa terkekang sehingga membatasi ruang gerak korban dalam mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.
Pada umumnya pihak dari kelompok atau perorangan yang kuat sering melakukan tidak kekerasan terhadap pihak yang lemah. Salah satu temuan menarik yang dikemukakan Colombijn dan Lindbald kekerasan dipandang sebagai cara legitimitas "hanya jika ditujukan pada orang asing (outsiders).
Di sini, "orang asing" merupakan hasil konstruksi sosial berdasarkan situasi dan konteks tertentu. Mereka bisa merupakan orang-orang di luar kelompok (outgroup), tetapi bisa juga anggota di dalam kelompok (ingroup) yang dipersepsi sebagai "orang asing". Atau bahkan bisa juga hasil dari konstruksi yang sama sekali imajiner, suatu kategori yang dapat dikenakan pada siapa saja, seperti "zionis", "kapitalis", "komunis", dan seterusnya yang tidak pernah jelas dan berlaku semena-mena.
Kekerasan di Masyarakat
Hal serupa terjadi dalam lingkungan kita, seperti yang diberitakan di Lampung Post (4-1) Oktober terdapat 181 kasus anak yang berkonflik dengan hukum dan 172 kasus anak yang menjadi korban kekerasan pada 2009. Kemudian aksi perampasan dan perampokan pada 2009 meningkat (Lampung Post, [3-1] Oktober) yang berakibat pada aksi kekerasan. Keadaan ini semakin menambah daftar aksi kekerasan di masyarakat.
Kekerasan yang dilakukan terkadang bertumpu pada masalah ekonomi. Sistem kapitalis telah mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan hanya pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa.
Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Impitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya kekerasan. Banyak kasus kekerasan menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Lebih dari itu, kekerasan sering dipicu dua faktor. Pertama, faktor individu. Kurangnya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum, termasuk melakukan tindakan kekerasan.
Kedua, faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikkan perlindungan atas eksistensi manusia.
Struktur sosial di masyarakat telah memaksa untuk melakukan tindakan di luar batas kewajaran, dampak arus globalisasi telah berdampak pada pola hidup yang konsumtif dan hedonis. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang kurang memedulikan nasib rakyatnya. Sehingga kekerasan dalam kompetisi kehidupan semakin nyata dan dianggap hal yang "lumrah".
Penegak hukum semestinya mampu membaca situasi ini agar keadaan di masyarakat lebih kondusif. Terlebih dengan agenda-agenda yang syarat kepentingan publik yang sudah bias dengan kepentingan pribadi. Sehingga aktor-aktor intelektual di balik kejadian kekerasan ini bisa dilakukan tindakan yang lebih represif karena akan berdampak sistemik terhadap kehidupan masa depan.
Persoalan kekerasan merupakan fenomena gunung es yang terlihat puncaknya sedikit tetapi sebetulnya tidak menunjukkan fakta yang valid. Masalah kekerasan banyak terjadi di lingkungan keluarga, tapi pada umumnya korban tidak mempunyai ruang atau informasi yang jelas apakah persoalan mereka layak atau tidak jika masuk dalam pengadilan. Sebab, selama ini masyarakat mengganggap permasalah keluarga itu hanya konsumtif pribadi dan hal yang tabu untuk diungkap.
Memang, sudah semestinya kita bisa memahami kehidupan yang lebih humanis dan demokratis. Kita bisa melihat kondisi masyarakat sekarang. Kekerasan yang lebih dominan terhadap struktur kultur di masyarakat yang lemah, yaitu perempuan dan anak-anak. Konstruksi sosial-budaya patriarki lebih banyak menguntungkan pihak laki-laki sehingga memberikan peluang terjadinya aneka kesewenangan terhadap perempuan yang direstui oleh tradisi.
Dengan pandangan hidup yang lebih arif dan bijak, ke depan kekerasan yang terjadi baik dalam keluarga dan masyarakat dapat diminimalisasi. Komunikasi aktif masyarakat dan pemerintah yang sinergi mampu menciptakan kerukunan dan perdamaian yang dapat mengangkat martabat bangsa di mata dunia. Mengedepankan kepentingan bersama dengan masyarakat sebagai pemeran utama merupakan upaya-upaya untuk mencegah dari tindak kekerasan. Semoga hidup kita menjadi lebih baik. Tabik.
Dimuat di Lampung Post, 15 Januari 2010